Iman dan Rasionalitas (Di Masa Pandemi Covid 19)


 

“IMAN DAN RASIONALITAS”


Oleh:

 Stefanus Wempy Siwalette

 


 

ABSTRAK

            Penyebaran virus Corona di enam bulan terakhir ini sangat berkembang pesat. Bahkan mempengaruhi setiap unsur kehidupan manusia. Kesehatan, perekonomian, pendidikan, bahkan sampai pada kehidupan beragama. Di tengah kecemasan dan duka mendalam atas peristiwa ini, saya terdorong untuk menuliskan betapa pentingnya kesadaran kita akan bahaya virus yang mengancam kesehatan, menantang iman dan cara beragama serta bernalar kita. Tulisan ini tidak bermaksud untuk memaksakan korelasi logis antara iman dan rasio. Tetapi tulisan ini sebagai upaya reflektif bagi penataan kehidupan beriman ditengah situasi pandemi dengan pertimbangan akal sehat guna mengantisipasi bahaya yang mengintai kehidupan dewasa ini. Wabah Covid-19 menjadi tantangan bagi iman dan nalar kita (rasionalitas). Di satu pihak kita mengandalkan iman dan prinsip-prinsip keagamaan sebagai upaya membangkitkan kesadaran sebagai manusia yang terbatas dan membutuhkan Tuhan seperti berdoa tetapi serentak di pihak lain, kita ditantang untuk secara rasional memberdayakan akal budi dalam membangun pola pikir yang aktif dan pro-aktif guna menjamin kesehatan dan keselamatan kita yang sedang terancam seperti menghindari keramaian dan sebagainya.

Kata-kata Kunci : Iman dan Rasio

 

 

 

 

 

BAB 1

PENDAHULUAN

A.Latar  Belakang

            Dalam kehidupan manusia sebagai masyarakat beragama, iman merupakan salah satu unsur yang paling utama dalam beragama. Semua manusia yang beragama memiliki iman masing-masing kepada siapa dan apa yang diyakini. Ada banyak agama di dunia ini dan juga terbagi lagi dengan aliran-aliran yang berbeda, yang bahkan ajarannya pun berbeda sehingga setiap penganutnya bisa saja memiliki keyakinannya masing-masing. Contohnya saja di Indonesia, yang memiliki enam agama yang diakui oleh negara. Kesemuanya tentu memiliki keyakinan yang berbeda-beda.

            Di masa sekarang ini, sebagai umat Kristen, iman merupakan unsur yang paling penting karena menyangkut keyakinan kita sebagai orang percaya, yakni kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Jurus’lamat.  Iman Kristen adalah iman yang berkeyakinan, bahwa Tuhan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus telah mendamaikan manusia dosa dengan diri-Nya sendiri.[1] Kita percaya bahwa apapun yang kita lakukan semuanya adalah kehendak Tuhan. Tetapi terkadang kita beriman secara berlebihan, dalam artian kita tidak menggunakan akal budi kita. Kita beriman tapi tidak rasional. Hal tersebut merupakan suatu kekeliruan. Memang benar bahwa kita harus beriman, tetapi harus beriman yang rasional. Kita diminta untuk mengasihi Allah bukan hanya dengan hati dan jiwa kita, tetapi juga dengan segenap akal budi kita (Matius 22:37). Iman dan akal budi (rasionalitas) harus sejalan. Akal budi yang sejati niscaya akan dapat mencapai kebenaran-kebenaran iman.[2]

            Di tengah pandemi Covid 19 ini banyak sekali terlihat orang yang beriman, namun tidak banyak yang menggunakan akal budinya (tidak rasionalitas). Bahkan, banyak yang mau “menguji” imannya. Walau pun ada himbauan dari pemerintah dan ahli kesehatan mereka percaya bahwa mereka tidak akan terpapar virus Corona karena mereka memiliki iman. Sebagai contoh, banyak yang masih melakukan kegiatan di luar rumah bahkan tanpa menggunakan masker dan tanpa menjaga jarak. Mereka percaya bahwa yang terkena virus merupakan takdir atau nasib. Akhirnya korban virus Corona akibat hal tersebut  bertambah banyak. Hal inilah yang membuat saya mengangkat topik Iman dan Rasionalitas  dalam paper ini.

B. Rumusan Masalah

            Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, maka penulis memetakan beberapa masalah yang akan dipaparkan dalam karya ilmiah ini sebagai berikut :

1.      Apa yang dimaksud dengan Iman dan Rasionalitas?

2.      Apa hubungan antara Iman dan Rasionalitas?

3.      Bagaimana peran Iman dan Rasionalitas dalam masa pandemik Covid 19?

C. Tujuan Penelitian

      Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka penulis tiba pada tujuan penelitian sebagai berikut :

1.      Pembaca dapat memahami makna Iman dan Rasionalitas

2.      Pembaca dapat mengetahui hubungan antara Iman dan Rasionalitas

3.      Pembaca dapat mengetahui peran Iman dan Rasionalitas, juga mampu untuk bertindak dengan bijak dalam masa pandemi Covid 19

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 2

TINJAUAN LITERATUR

Iman

Iman (bahasa Yunani: Ï€Î¯ÏƒÏ„ιν— pistin) adalah rasa percaya kepada Tuhan. Iman sering dimaknai "percaya" (kata sifat) dan tidak jarang juga diartikan sebagai kepercayaan (kata benda). Alkitab Terjemahan Baru (TB) mencatat kata "iman" sebanyak 155 kali. Menurut Paulus, "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat" (Ibrani 11:1). Menurut beberapa versi terjemahan Alkitab, kata "iman" yang dalam bahasa Yunani tertulis sebagai πίστιν (baca "pistin") Namun dalam beberapa versi terjemahan Alkitab, kata "iman" dan kata "percaya" diterjemahkan juga dari kata Yunani "πίστις" (baca "pistis"). Di dalam Perjanjian Lama kata iman berasal dari kata kerja aman, yang berarti “memegang teguh”. Diterapkan ke dalam Perjanjian Baru, iman berarti: mengamini dengan segenap kepribadian  dan cara hidupnya kepada janji Allah, bahwa Ia di dalam Kristus telah mendamaikan orang dosa dengan diriNya sendiri, sehingga segenap hidup orang yang beriman dikuasai oleh keyakinan yang demikian itu. Di dalam uraian tersebut iman dipandang sebagai tangan yang diulurkan manusia guna menerima kasih karunia Allah yang sebesar itu. Juga dapat dikatakan bahwa iman di situ dipandang sebagai “jalan keselamatan”.

Rasionalitas

Rasionalitas merupakan konsep normatif yang mengacu pada kesesuaian keyakinan seseorang dengan seseorang alasan untuk percaya, atau tindakan seseorang dengan alasan seseorang untuk bertindak. Namun, istilah “rasionalitas cenderung digunakan secara berbeda dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk diskusi spesifik teologi, ekonomi, sosiologi, psikologi, biologi. Rasionalitas dari rasional dalam KBBI: menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal. Rasionalitas adalah pola pikir untuk bertindak sesuai dengan nalar dan logika manusia. Menurut Stanovich dan West (2014) rasionalitas mengandung dua pengertian, yaitu sebagai sebuah tindakan yang tepat dilihat dari hasil yang diharapakan sebagaimana diukur dari sudut pandang pencapaian tujuan, serta sebagai sebuah keyakinan yang dipegang individu, dimana keyakinan tersebut didukung oleh bukti-bukti terbaik yang tersedia.

BAB 3

METODE PENELITIAN

Dalam tulisan karya ilmiah ini, penulis mengunakan metode penelitian atau kajian pustaka (library research), buku, jurnal, internet dengan mengutamakan data kualitatif. Selain itu, penulis juga mengupayakan metode penelitian dengan wawancara (interview) ke beberapa mahasiswa dalam rangka memperoleh informasi dan keterangan secara benar dan nyata terkait dengan topik dari paper ini.

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Pengertian Iman dan Rasionalitas

1. Iman

            Iman (bahasa Yunani: Ï€Î¯ÏƒÏ„ιν— pistin) adalah rasa percaya kepada Tuhan. Iman sering dimaknai "percaya" (kata sifat) dan tidak jarang juga diartikan sebagai kepercayaan (kata benda).  Iman adalah percaya. Iman adalah kasih karunia Allah, yang dikerjakan di dalam hati oleh Roh Kudus, yang menghidupkan dan memandu semua kemampuan kita menuju satu tujuan. Kita harus berdoa untuk memiliki iman, dan supaya iman kita bertumbuh. Iman adalah dasar dari pengalaman kekristenan kita (Efesus 2:8); dan juga basis untuk menerima, mengembangkan dan maju kepada kekudusan (2 Petrus 1:5-8). Iman adalah alat yang memampukan kita menjalani seluruh hidup kekristenan kita. Paulus menekankan  kebenaran ini dalam Galatia 2:20, dimana ia bersaksi, “Hidupku … adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah”.

            Iman tentunya bukan sekedar sebuah doktrin Perjanjian Baru saja, karena salah seorang nabi dalam Perjanjian Lama pun menyatakan; “Orang yang benar itu akan hidup oleh iman [Allah]” (Hab. 2:4 KJV). Kemudian di dalam Perjanjian Baru, Paulus berkata di dalam Galatia 2:20 bahwa orang benar hidup dengan iman Allah. Paulus juga berkata di dalam Roma 14:23, “Segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa.” Karena itu segala sesuatu yang kita lakukan harus dilakukan di dalam iman, sebagai respon terhadap mandat Allah untuk melakukan suatu hal tertentu. Jika perbuatan-perbuatan kita tidak dilakukan di dalam iman dan tidak sesuai dengan kehendak Allah maka kita tidak akan berhasil mencapai kemuliaan Allah dan meleset dari sasaran yang telah Ia tetapkan bagi hidup kita. Tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah (Ibr.11:6).

 Iman bukanlah suatu perasaan, ataupun produk kehendak atau intelek kita. Kita tidak dapat menghasilkan iman, sebab iman itu berasal dari Allah. Di dalam Ibrani 11:1 Paulus memberikan sesuatu yang mungkin merupakan deskrispi terbaik dari iman di seluruh Alkitab: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapakan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Iman adalah  sebuah dasar – sesuatu yang nyata; kita dapat merasakannya. Bila kita memilikinya, kita akan mengetahuinya. Namun, ini adalah sebuah pemberian dari Allah (Ef.2:8). Kita bisa saja berharap dan berdoa meminta sesuatu dari Tuhan, tetapi bagaiman kita dapat merasa yakin bahwa kita akan menerimanya? Kita dapat memiliki jaminan bahwa kita akan menerima hal-hal yang kita minta itu jika kita memiliki iman Allah, karena iman adalah bukti dari hal-hal yang tidak terlihat dan dasar dari hal-hal yang kita harapkan.

2. Rasionalitas

            Secara etimologi, rasionalitas berasal dari bahasa Yunani kuno, yakni rasio, yang memiliki arti kemampuan kognitif untuk dapat memilah antara yang benar serta juga salah dari yang ada dan dalam kenyataan. Rasionalitas merupakan pola piker dimana seseorang itu bersikap serta juga bertindak sesuai denga logika dan juga nalar manusia. Rasionalitas merupakan suatu konsep yang memiliki sifat normatif yang mengarah kepada keselarasan antara keyakinan seseorang dengan alasan orang tersebut untuk dapat yakin, atau juga tindakan seseorang dengan alasannya untuk melakukan hal atau tindakan tersebut. Para filsuf Yunani kuno sudah lama menjelaskan bahwa bertindak rasional berarti bertindak berdasarkan pertimbangan yang masuk akal, baik mengenai sarana maupun mengenai tujuannya. Rasionalitas yang dimaksud ini adalah rasionalitas evaluatif, suatu rasionalitas yang menjelaskan bahwa suatu tindakan selalu berkaitan dengan nilai atau kepentingan bersama, atau lebih tepatnya lagi kepentingan manusia pada umumnya. Konsep rasionalitas Yunani kuno ini akan tetapi telah lama diabaikan. Sejak David Hume, terutama dalam bukunya Treatise of Human Nature (1739-40), rasionalitas evaluative ini diganti dengan rasionalitas instrumental, dimana pengetahuan manusia tidak dapat lagi dilihat sebagai ungkapan dari keunggulan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan berakhlak mulia, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu

             Menurut KBBI, kata rasional merupakan suatu pemikiran dan pertimbangan dengan secara logis dengan pikiran yang sehat dan masuk akal. Max Weber, yang merupakan salah satu pencetus teori rasionalitas, melakukan analisis gejala modernitas yang terjadi di masyarakat Barat kali itu. Max Weber juga mengatakan bahwa terdapat dua jenis rasionalitas manusia, diantaranya:

·         Rasionalitas Tujuan (Zwekrationalitaet), yaitu rasionalitas yang mengakibatkan tiap individu atau juga sekumpulan orang dalam satu tindakan dengan orientasi pada tujuan tindakan, cara mewujudkannya, dan juga akibat-akibatnya. Keunikan rasionalitas yang satu ini ialah sifatnya yang formal, disebabkan karena mengutamakan tujuan dengan tidak memperdulikan pertimbangan nilai

·         Rasionalitas nilai (Wetrationalitaet), yaitu rasionalitas yang memperhitungkan nilai-nilai atau juga segala macam etika yang memperbolehkan atau juga menyalahkan pemakaian lngkah tertentu dalam mewujudkan tujuan. Rasionalitas nilai ini lebih mengutamakan kesadaran atas nilai-nilai estetka, etis dan juga religius.

Sedangkan menurut Stanovich dan West (2014) rasionalitas mengandung dua pengertian, yaitu sebagai sebuah tindakan yang tepat dilihat dari hasil yang diharapakan sebagaimana diukur dari sudut pandang pencapaian tujuan, serta sebagai sebuah keyakinan yang dipegang individu, dimana keyakinan tersebut didukung oleh bukti-bukti terbaik yang tersedia. Secara lebih terinci Hastie dan Dawes (2010) mengemukakan bahwa sebuah tindakan dapat disebut rasional bila memenuhi empat kriteria. Pertama, tindakan itu dilandasi oleh pertimbangan yang menyeluruh terhadap seluruh alternatif tindakan lain yang tersedia. Dengan kata lain pelaku tindakan telah mempertimbangkan seluruh kemungkinan yang tersedia. Kedua, pemilihan alternatif tindakan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan terhadap konsekuensi atau hasil yang mungkin menyertai setiap alternatif tindakan. Alternatif tindakan yang dipilih adalah yang memberikan hasil yang terbaik atau tertinggi bagi pelaku. Ketiga, ketika hasil atau konsekuensi tersebut masih berupa kemungkinan atau tidak dapat dipastikan benar atau tidaknya, maka nilai dari hasil atau konsekuensi tindakan diperkirakan dengan cara menggunakan aturan-aturan sebagaimana digariskan dalam teori probabilitas. Terakhir, keseluruhan proses pengambilan keputusan rasional ini mencerminkan pertimbangan yang menyeluruh terhadap unsur ketidakpastian dan ketidakjelasan terkait hasil dari sebuah tindakan, dalam kaitan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui tindakan tersebut.

Contoh-contoh tindakan rasional:

1)      Manusia itu harus bekerja keras apabila ingin mendapatkan uang

2)      Seorang penjahat itu akan ditangkap dan juga akan diadili karena  melakukan tindakan yang melanggar hukum

3)      Direktur memberikan bonus kepada pegawai yang menunjukkn prestasi didalam menyelesaikan pekerjaannya.

4)      Seseorang akan lebih memilih baju yang rapih daripada baju yang lecek.

5)      Seseorang akan makan untuk melawan laparnya

B. Hubungan antara Iman dan Rasionalitas

            Seringkali kita melihat bahwa antara iman dan rasionalitas memiliki pertentangan. Iman merupakan elemen penting dari sebuah agama mana pun karena iman merupakan fondasi utama dari keyakinan agama. Iman juga membedakan keyakinan antara agama satu dengan agama yang lain. Pertanyaan mendasar muncul, perlukah iman dirasionalkan? Banyak jawaban mengatakan tidak perlu. Memaksakan iman untuk rasional justru merupakan wujud kegagalan atau wujud kebangkrutan keyakinan. Keyakinan seseorang itu tidak dibatasi oleh sekat-sekat dunia dan keyakinan seseorang tidak dapat dijelaskan dengan metode ilmiah mana pun. Iman merupakan hal transcendental. Sebagai sesuatu hal yang berada di ranah transcendental, setiap upaya merasionalkan keimanan justru memaksakan transcendental tersebut seirama dengan dunia nyata. Atau dengan kata lain, memaksakan suatu penemuan sains dengan fenomena keimanan. Sains tidak mampu mengilmiahkan keyakinan atau keimanan.

                Pada masa awal kekeristenan, filsafat dan teologi tidak dapat berdiri berdampingan. Filsafat dengan aktifitasnya sendiri dan teologipun demikian. Antara filsafat dan teologi terbentang jarak yang begitu jauh. Jarak ini kemudian juga mempengaruhi gaya hidup dan pola pikir masyarakat saat itu. Melihat keadaan ini, para pemikir Kristen seperti Santo Yustinus, Santo Anselmus, Santo Thomas Aquinas dan lain-lain berusaha untuk mencari dan menemukan suatu cara atau jalan untuk memperdamaikan keduanya, meletakan secara berdampingan iman dan akal budi. Dalam konteks iman, tugas filsafat kemudian dipahami sebagai pembela iman. Dimana kemampuan akal budi digunakan secara benar dan tepat untuk menjelaskan dan memahami wahyu. Thomas Aquinas kemudian menemukan suatu keselarasan antara iman dan akal budi. Ia menegaskan bahwa terang akal budi dan terang iman merupakan dua hal yang berasal dari Allah, maka tidak ada pertentangan diantara keduanya. Selain Aquinas, beberapa pemikir sesudah Aquinas berusaha untuk menjelaskan hal yang sama dengan cara pandang yang baru, dengan metode yang sesuai dengan jaman.

            Proses pencarian hubungan antara iman dan rasio sudah dimulai sejak zaman Yunani kuno. Selain pada filsuf pertama, dari kalangan kekristenan awal pencarian ini pun sudah dimulai. Sebagaimana yang kita lihat dalah Kisah Para Rasul, pewartaan iman Kristen sejak permulaan  bergelut dengan aliran-aliran filsafat yang hidup pada jaman tersebut. Kisah para rasul memperlihatkan bagaimana St. Paulus berbincang-bincang dengan  beberapa ahli pikir dari kalangan epikuros dan Stoa.  Dalam menjelaskan pewartaannya, St Paulus sendiri perlu masuk dalam pola pikir kaum stoa tersebut dimana ia memulai dengan pandangan filosofis mengenai dewa yang tak memiliki nama yang disembah oleh bangsa romawi dalam pidatonya di Areopagus (Bdk. Kis 17:22).

            Dalam Ensiklik Fides Et Ratio, Paus Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa salah satu hal penting  yang menjadi kepedulian filsafat klasik adalah memurniakn pengertian-pengertian manusia mengenai Allah  dari unsur-unsur mitologis. Penjelasan Paus ini hendak menunjukan bahwa Santo Paulus sudah memulai proses tersebut dimana ia berusaha menjernihkan pemikiran para hadirin yang ada mengenai pemahaman mereka akan nabi yang tak mereka kenal dengan nilai-nilai pewartaan yang bersifat Kristiani. Tidak berhenti pada santo Paulus, para pemikir Kristen awal juga terus berusaha untuk menjelaskan hal yang sama. Seperti contoh santo Yustinus sesudah pertobatannya ia tetap menjunjung tinggi filsafat dan ia menegaskan bahwa ia telah menemukan dalam agama Kristen satu-satunya filsafat yang pasti dan bermanfaat. Klemens dari Aleksandria  menyebut injil sebagai Filsafat yang benar, Klemens menegaskan bahwa tugas filsafat adalah  membela iman, Origenes dalam menghadapi serangan Celcius, ia mempergunakan argument filsafat Plato. Jika kita mencermati secara mendalam dan mendetail, kita akan menemukan begitu banyak para pemikir Kristen yang tetap menggunakan filsafat dalam menerangkan iman Kristiani. Hal ini hendak menunjukan kesadaran kritis para ahli pikir Kristen sejak awal mula  dalam menghadapi masalah iman dan filsafat, sambil memandang hubungan itu secara menyeluruh baik segi-segi positifnya dan keterbatasan-keterbatasannya.

            Rasio dan iman dapat berjalan sejajar. Tetapi jika mereka harus saling mengisi, manakah yang harus lebih dipentingkan? Paulus dengan tegas memakai satu kalimat untuk mendalami prinsip kesinambungan Perjanjian Lama sampai kepada Perjanjian Baru, yaitu: “Orang benar akan hidup oleh iman” (Roma 1:17; bandingkan Habakuk 2:4). Dengan kalimat ini, jelas bahwa iman menempati posisi yang utama; iman merupakan unsur primer, lebih penting dari segala sesuatu. Tetapi iman itu harus dapat dipertanggungjawabkan dengan rasio, dan dapat dimengerti dengan sesungguhnya. Iman harus mendahului dan menjadi fondasi dari rasio kita. Iman yang menyebabkan kita dapat berdiri di hadapan Tuhan. Tetapi orang yang berdiri di hadapan Tuhan harus juga berdiri di hadapan manusia. Pada waktu seseorang beriman kepada Tuhan, ia harus memberikan alasan di hadapan manusia mengapa ia beriman kepada Tuhan. Dengan iman kita berdiri di hadapan Tuhan, dan dengan pengetahuan kita mengerti mengapa kita berdiri di hadapan Tuhan. Dengan pengetahuan yang sejati itulah kita dapat membagi-bagikan iman yang murni kepada orang-orang sezaman kita. Rasio tidak boleh dibunuh oleh iman, karena rasio diciptakan oleh Tuhan sebagai satu bagian yang penting di dalam urutan fungsi di dalam dunia ini[3].

C.Peran Iman dan Rasionalitas di masa Covid 19

            Virus Corona merubah segalanya. Di tengah kecemasan dan duka mendalam atas peristiwa ini, saya terdorong untuk menuliskan betapa pentingnya kesadaran kita akan bahaya virus yang mengancam kesehatan, menantang iman dan cara beragama serta bernalar kita. Tulisan ini tidak bermaksud memaksakan korelasi logis antara iman dan rasio. Tetapi tulisan sebagai upaya reflektif bagi penataan kehidupan beriman di tengah situasi pandemic dengan pertimbangan akal sehat guna mengantisipasi bahaya yang mengintai kehidupan kita.

            Hampir di seluruh dunia mengalami krisis akibat virus ini. Virus ini menyerang siapa saja. Bahkan hingga Kamis sore, 11 Juni 2020, dilansir dari data terbaru CSSE Johns Hopkins University, total jumlah kasus Corona di dunia sudah mencapai 7.394.801 pasien. Angka ini merupakan update data hingga pukul 17.30 WIB. Jumlah pasien positif corona yang meninggal pun terus bertambah, dan pada sore hari ini, menjadi 417.022 jiwa. Tiga negara yang memiliki angka kematian pasien Covid-19 tertinggi saat ini adalah Amerika Serikat, Inggris dan Brasil. Jumlah kasus positif corona di Indonesia masih terus bertambah. Laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Kamis sore, 11 Juni 2020, menunjukkan ada 979 kasus baru yang terkonfirmasi positif corona, dalam 24 jam terakhir. Dengan penambahan tersebut, total jumlah kasus positif corona di Indonesia pada hari ini menjadi 35.295 orang. Dari jumlah total tersebut, 58,5 persen atau 20.659 pasien berstatus masih dirawat (kasus aktif). Di sisi lain, angka kematian pasien corona di Indonesia saat ini telah mencapai 2000 pasien. Dalam sehari terakhir, Gugus Tugas menerima laporan 41 kasus kematian baru.[4]

            Tidak hanya itu, virus corona juga melumpuhkan perekonomian negara-negara yang terdampak, terganggunya pemerintahan, pendidikan, kehidupan sosial bahkan sampai pada kehidupan umat beragama. Masyarakat dihimbau untuk di rumah saja dan dilarang untuk berkumpul atau mengadakan kegiatan yang melibatkan banyak orang. Contohnya sekolah kini sudah dilakukan di rumah masing-masing pelajar, begitu pun dengan kegiatan yang lainnnya, semuanya dilakukan dari rumah. Hal ini tentunya sangat berpengaruh bagi kehidupan setiap orang, ada yang pro dan ada juga yang kontra, tetapi sebenarnya hal tersebut harus diterima demi kebaikan bersama. Di antara yang paling gencar merespon penyebaran kasus Covid 19 ini ialah kaum agamawan, yang kini di garda terdepan menafsirkan fenomena ini secara teologis. Namun yang membuat umat terguncang ialah ketika ada praktik keagamaan yang mulai dilarang pemerintah. Kebijakan-kebijakan ini melahirkan benturan teologis karena umat dilarang (sementara) berkumpul pada momen ritual, seperti ibadah di gereja atau sholat berjamaah dan lainnya. Situasi ini begitu menggoyahkan iman umat beragama. Orang-orang berpikir bahwa mereka dibuat lebih takut virus Corona daripada takut Tuhan. Contohnya mereka berpikir bahwa pendeta lebih takut corona dari pada takut Tuhan karena meniadakan ibadah di gereja. Ada juga orang-orang yang berkeyakinan bahwa tidak akan terkena virus corona walaupun tidak mengikuti anjuran pemerintah dalam hal ini protocol kesehatan yang dikeluarkan. Mereka tetap melakukan peribadahan, baik di gedung gereja, maupun di tempat-tempat ibadah lainnya. Semuanya itu merupakan kekeliruan. Ada sebuah postingan di salah satu media sosial yang mengatakan; “Buat apa takut corona, hidup dan mati ada di tangan Allah. Allah pasti tidak akan mengirimkan virus untuk umat-Nya. Mengapa kita dilarang pergi ke tempat-tempat ibadah? Allah tidak akan mengirim virus ke tempat ibadah”. Itu adalah beriman yang tidak rasional. Memang betul bahwa kita harus beriman dan yakin kepada pertolongan Tuhan. Akan tetapi tidak dengan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Disinilah diperlukan akal budi (rasio). Kita harus melakukan  hal-hal yang sesuai dengan kondisi yang terjadi, apakah itu berdampak baik bagi kita dan orang lain atau malah sebaliknya.

            Fakta lapangan dan laporan statistik menunjukkan bahwa pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam memutus pesebaran virus melalui penetapan libur, pemerikasaan kesehatan dan Physical Distancing yakni menjaga jarak dan menghindari keramaian mengingat laju pesebaran covid-19 yang cukup cepat dan signifikan. Bentuk-bentuk penanganan dan upaya pencegahan ini urgen untuk diperhatikan dan dilaksanakan. Kembali pada isi postingan tadi, saya ingin mengatakan bahwa kesadaran kita untuk bekerjasama dalam memutus laju pesebaran virus adalah hal yang sangat diperlukan saat ini. Pelarangan ke tempat ibadah sebagai salah satu sentrum keramaian tidak berarti bahwa pemerintah berusaha untuk membatasi prinsip-prinsip iman dan tata ritual agama kita dalam arti tegas dan esensil. Hal yang sama berlaku juga ketika pemerintah menetapkan social distancing. Penjarakan dalam interaksi sosial (Physical Distancing) tidak dimaksudkan oleh pemerintah untuk membatasi relasi sosial kita dalam arti tegas. Penetapan-penetapan ini tak lain adalah upaya untuk mencegah peningkatan jumlah korban. Kita terperosok jauh dalam “kebutaan” beragama dengan membangun persepsi bahwa cukup dengan iman dan pelaksaan ritual keagamaan, keselamatan dan kesehatan telah menjadi milik paripurna yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun dan apa pun termasuk Covid-19. Pola pikir seperti ini perlu segera dibenahi.

Beriman memang penting tetapi di sisi lain menggunakan akal sehat dalam menimbang dan memutuskan apa yang terbaik bagi diri dan kesehatan juga penting. Keduanya harus sejalan. Thomas Aquinas, salah satu filsuf sekaligus teolog mengemukakan betapa pentingnya peranan akal budi dan iman. Keduanya berasal dari Tuhan. Korelasi keduanya membantu manusia untuk mencapai pengertian tertinggi akan manusia di satu pihak dan Allah di lain pihak. Iman di satu pihak menyempurnakan pemahaman manusia yang tak dapat dijangkau akal budi tetapi di pihak lain juga akal budi membantu manusia dalam memahami iman juga dalam tataran praktis pelaksanaannya.

Wabah Covid-19 menjadi tantangan bagi iman dan nalar kita. Di satu pihak kita mengandalkan iman dan prinsip-prinsip keagamaan sebagai upaya membangkitkan kesadaran sebagai manusia yang terbatas dan membutuhkan Tuhan seperti berdoa tetapi serentak di pihak lain, kita ditantang untuk secara rasional memberdayakan akal budi dalam membangun pola pikir yang aktif dan pro-aktif guna menjamin kesehatan dan keselamatan kita yang sedang terancam seperti menghindari keramaian dan sebagainya. Beriman tanpa berakal adalah sesat dan berakal tanpa beriman adalah buta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

PENTUTUP

Di tengah pandemik Covid 19 ini, tentunya iman sangat dibutuhkan. Setiap orang berkeyakinan ada pertolongan Tuhan. Namun akal budi (rasio) juga diperlukan. Kita tidak hanya saja percaya bahwa ada pertolongan Tuhan, tetapi harus mengerti dan melakukan apa yang dikehendaki Tuhan. Di masa sekarang ini kita harus menggunakan akal sehat dalam menimbang dan memutuskan apa yang terbaik bagi diri dan kesehatan juga penting. Iman itu penting. Kita jangan hanya percaya tapi harus juga mengerti. Kita dapat mengerti karena kita beriman, bukan karena kita mengerti maka kita beriman! Kita dapat mengerti karena kita memiliki iman. Kita percaya ada pertolongan Tuhan di balik virus Corona ini, ada rencana-Nya yang indah untuk kita, untuk itu kita harus mengerti, menggunakan akal budi (rasio) dengan melakukan hal-hal yang tidak merugikan kita. Dengan mentaati apa yang dihimbau oleh pemerintah saja kita sudah melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan (pemerintah adalah wakil Tuhan). Jadi tetaplah beriman dan percaya akan pertolongan Tuhan dengan berjalan bersama pemikiran yang rasional dan tindakan yang masuk akal. Rancangan Tuhan adalah rancangan damai sejahtera, bukan rancangan kecelakaan, Ia memberikan hari depan yang penuh harapan (bdk Yer.29:11)

 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

A.Kitab Suci dan Kamus:

1. Alkitab, Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia, 2016

2. Kamus Besar Bahasa Indonesia

B.Buku:

1.      Hadiwijono, Harun, Iman Kristen (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2015)

2.      Tong, Stephen, Iman,Rasio dan Kebenaran (Surabaya, Momentum, 2015)

3.      Tjahjadi, Simon Petrus L, tuhan filsuf dan ilmuwan (Dari Descrates Sampai Whitehead) (Yogayakarta, Kanisius, 2007)

4.      Suseno-Franz magnis, menalar tuhan (Yogyakarta, Kanisius, 2006)

5.      Veldhuis,Henri, Kutahu yang Kupercaya (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2010)

6.      Stanovich,K.E, West,R.F (2014) The assessment of rational thinking: Teaching of Psychology

7.      Hastie,R & Dawes, R.M (2010) Rational choice in an uncertain world : The Psychology of judgment and decision making. Thousand Oaks, CA:Sagc

8.      Paus Yohanes II, Fides Et Ratio, terj.A. Widyamartaya (Yogyakarta, Kanisius, 1999)

C.Jurnal dan Internet

1. jurnal.ugm.ac.id

C:/Users/LENOVO/Downloads/26771-56184-4-PB%20(3).pdf

2. https://alkitab.sabda.org/article,php?no=423&type=12

3. https://pendidikan.co.id/pengertian-rasional-sikap-tipe-dan-contohnya-menurut-para-ahli/

4. https://tirto.id/update-corona-11-juni-2020-indonesia-dunia-data-terbaru-hari-ini-fGNK

 

   

 

    



[1] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2015), 24

[2] Simon Petrus L.Tjahjadi, Pustaka Filsafat Petualangan Intelektua : Konfrontasi dengan para Filsuf  dari zaman Yunani hingga zaman Modern, (Yogyakarta : Kanisius, 2008), 123

[3] Stephen Tong, Iman,Rasio, dan Kebenaran (Surabaya : Momentum, 2015), 16-17

Komentar

Postingan Populer