Iman dan Rasionalitas (Di Masa Pandemi Covid 19)
“IMAN DAN RASIONALITAS”
Oleh:
Stefanus Wempy Siwalette
ABSTRAK
Penyebaran
virus Corona di enam bulan terakhir ini sangat berkembang pesat. Bahkan
mempengaruhi setiap unsur kehidupan manusia. Kesehatan, perekonomian,
pendidikan, bahkan sampai pada kehidupan beragama. Di tengah kecemasan dan duka
mendalam atas peristiwa ini, saya terdorong untuk menuliskan betapa pentingnya
kesadaran kita akan bahaya virus yang mengancam kesehatan, menantang iman dan
cara beragama serta bernalar kita. Tulisan ini tidak bermaksud untuk memaksakan korelasi logis antara
iman dan rasio. Tetapi tulisan ini sebagai upaya reflektif bagi penataan
kehidupan beriman ditengah situasi pandemi dengan pertimbangan akal sehat guna
mengantisipasi bahaya yang mengintai kehidupan dewasa ini. Wabah Covid-19
menjadi tantangan bagi iman dan nalar kita (rasionalitas). Di satu pihak kita
mengandalkan iman dan prinsip-prinsip keagamaan sebagai upaya membangkitkan
kesadaran sebagai manusia yang terbatas dan membutuhkan Tuhan seperti berdoa
tetapi serentak di pihak lain, kita ditantang untuk secara rasional
memberdayakan akal budi dalam membangun pola pikir yang aktif dan pro-aktif
guna menjamin kesehatan dan keselamatan kita yang sedang terancam seperti
menghindari keramaian dan sebagainya.
Kata-kata Kunci : Iman dan Rasio
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam
kehidupan manusia sebagai masyarakat beragama, iman merupakan salah satu unsur
yang paling utama dalam beragama. Semua manusia yang beragama memiliki iman
masing-masing kepada siapa dan apa yang diyakini. Ada banyak agama di dunia ini
dan juga terbagi lagi dengan aliran-aliran yang berbeda, yang bahkan ajarannya
pun berbeda sehingga setiap penganutnya bisa saja memiliki keyakinannya
masing-masing. Contohnya saja di Indonesia, yang memiliki enam agama yang
diakui oleh negara. Kesemuanya tentu memiliki keyakinan yang berbeda-beda.
Di
masa sekarang ini, sebagai umat Kristen, iman merupakan unsur yang paling
penting karena menyangkut keyakinan kita sebagai orang percaya, yakni kepada
Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Jurus’lamat. Iman Kristen adalah iman
yang berkeyakinan, bahwa Tuhan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus telah
mendamaikan manusia dosa dengan diri-Nya sendiri.[1]
Kita percaya bahwa apapun yang kita lakukan semuanya adalah kehendak Tuhan. Tetapi
terkadang kita beriman secara berlebihan, dalam artian kita tidak menggunakan
akal budi kita. Kita beriman tapi tidak rasional. Hal tersebut merupakan suatu
kekeliruan. Memang benar bahwa kita harus beriman, tetapi harus beriman yang
rasional. Kita diminta untuk mengasihi Allah bukan hanya dengan hati dan jiwa
kita, tetapi juga dengan segenap akal budi kita (Matius 22:37). Iman dan akal
budi (rasionalitas) harus sejalan. Akal budi yang sejati niscaya akan dapat
mencapai kebenaran-kebenaran iman.[2]
Di
tengah pandemi Covid 19 ini banyak sekali terlihat orang yang beriman, namun
tidak banyak yang menggunakan akal budinya (tidak rasionalitas). Bahkan, banyak
yang mau “menguji” imannya. Walau pun ada himbauan dari pemerintah dan ahli
kesehatan mereka percaya bahwa mereka tidak akan terpapar virus Corona karena
mereka memiliki iman. Sebagai contoh, banyak yang masih melakukan kegiatan di
luar rumah bahkan tanpa menggunakan masker dan tanpa menjaga jarak. Mereka
percaya bahwa yang terkena virus merupakan takdir atau nasib. Akhirnya korban
virus Corona akibat hal tersebut
bertambah banyak. Hal inilah yang membuat saya mengangkat topik Iman dan Rasionalitas dalam paper ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang penulisan di atas, maka penulis memetakan beberapa masalah yang
akan dipaparkan dalam karya ilmiah ini sebagai berikut :
1. Apa
yang dimaksud dengan Iman dan Rasionalitas?
2. Apa
hubungan antara Iman dan Rasionalitas?
3. Bagaimana
peran Iman dan Rasionalitas dalam masa pandemik Covid 19?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada,
maka penulis tiba pada tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Pembaca
dapat memahami makna Iman dan Rasionalitas
2. Pembaca
dapat mengetahui hubungan antara Iman dan Rasionalitas
3. Pembaca
dapat mengetahui peran Iman dan Rasionalitas, juga mampu untuk bertindak dengan
bijak dalam masa pandemi Covid 19
BAB
2
TINJAUAN
LITERATUR
Iman
Iman (bahasa Yunani: πίστιν— pistin) adalah
rasa percaya kepada Tuhan. Iman sering dimaknai "percaya" (kata
sifat) dan tidak jarang juga diartikan sebagai kepercayaan (kata benda). Alkitab Terjemahan
Baru (TB) mencatat kata "iman" sebanyak 155 kali. Menurut Paulus,
"Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari
segala sesuatu yang tidak kita lihat" (Ibrani 11:1). Menurut beberapa versi terjemahan Alkitab,
kata "iman" yang dalam bahasa Yunani tertulis
sebagai πίστιν (baca "pistin") Namun dalam beberapa versi terjemahan
Alkitab, kata "iman" dan kata "percaya" diterjemahkan juga
dari kata Yunani "πίστις" (baca "pistis"). Di dalam
Perjanjian Lama kata iman berasal
dari kata kerja aman, yang berarti
“memegang teguh”. Diterapkan ke dalam Perjanjian Baru, iman berarti: mengamini
dengan segenap kepribadian dan cara
hidupnya kepada janji Allah, bahwa Ia di dalam Kristus telah mendamaikan orang
dosa dengan diriNya sendiri, sehingga segenap hidup orang yang beriman dikuasai
oleh keyakinan yang demikian itu. Di dalam uraian tersebut iman dipandang
sebagai tangan yang diulurkan manusia guna menerima kasih karunia Allah yang
sebesar itu. Juga dapat dikatakan bahwa iman di situ dipandang sebagai “jalan
keselamatan”.
Rasionalitas
Rasionalitas
merupakan konsep normatif yang mengacu pada kesesuaian keyakinan seseorang
dengan seseorang alasan untuk percaya, atau tindakan seseorang dengan alasan
seseorang untuk bertindak. Namun, istilah “rasionalitas cenderung digunakan
secara berbeda dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk diskusi spesifik teologi,
ekonomi, sosiologi, psikologi, biologi. Rasionalitas dari rasional dalam KBBI:
menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok
dengan akal. Rasionalitas adalah pola pikir untuk bertindak sesuai dengan nalar
dan logika manusia. Menurut Stanovich dan West (2014) rasionalitas mengandung
dua pengertian, yaitu sebagai sebuah tindakan yang tepat dilihat dari hasil
yang diharapakan sebagaimana diukur dari sudut pandang pencapaian tujuan, serta
sebagai sebuah keyakinan yang dipegang individu, dimana keyakinan tersebut
didukung oleh bukti-bukti terbaik yang tersedia.
BAB 3
METODE PENELITIAN
Dalam tulisan karya ilmiah ini, penulis mengunakan
metode penelitian atau kajian pustaka (library research), buku, jurnal,
internet dengan mengutamakan data kualitatif. Selain itu, penulis juga
mengupayakan metode penelitian dengan wawancara (interview) ke beberapa
mahasiswa dalam rangka memperoleh informasi dan keterangan secara benar dan
nyata terkait dengan topik dari paper ini.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Pengertian Iman dan
Rasionalitas
1.
Iman
Iman (bahasa Yunani: πίστιν— pistin) adalah
rasa percaya kepada Tuhan. Iman sering dimaknai "percaya" (kata
sifat) dan tidak jarang juga diartikan sebagai kepercayaan (kata benda). Iman adalah percaya. Iman adalah kasih
karunia Allah, yang dikerjakan di dalam hati oleh Roh Kudus, yang menghidupkan
dan memandu semua kemampuan kita menuju satu tujuan. Kita harus berdoa untuk
memiliki iman, dan supaya iman kita bertumbuh. Iman adalah dasar dari
pengalaman kekristenan kita (Efesus 2:8); dan juga basis untuk menerima, mengembangkan
dan maju kepada kekudusan (2 Petrus 1:5-8). Iman adalah alat yang memampukan
kita menjalani seluruh hidup kekristenan kita. Paulus menekankan kebenaran ini dalam Galatia 2:20, dimana ia
bersaksi, “Hidupku … adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah”.
Iman tentunya bukan sekedar sebuah
doktrin Perjanjian Baru saja, karena salah seorang nabi dalam Perjanjian Lama
pun menyatakan; “Orang yang benar itu akan hidup oleh iman [Allah]” (Hab. 2:4
KJV). Kemudian di dalam Perjanjian Baru, Paulus berkata di dalam Galatia 2:20
bahwa orang benar hidup dengan iman Allah. Paulus juga berkata di dalam Roma
14:23, “Segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa.” Karena itu
segala sesuatu yang kita lakukan harus dilakukan di dalam iman, sebagai respon
terhadap mandat Allah untuk melakukan suatu hal tertentu. Jika
perbuatan-perbuatan kita tidak dilakukan di dalam iman dan tidak sesuai dengan
kehendak Allah maka kita tidak akan berhasil mencapai kemuliaan Allah dan
meleset dari sasaran yang telah Ia tetapkan bagi hidup kita. Tanpa iman tidak
mungkin orang berkenan kepada Allah (Ibr.11:6).
Iman bukanlah suatu
perasaan, ataupun produk kehendak atau intelek kita. Kita tidak dapat
menghasilkan iman, sebab iman itu berasal dari Allah. Di dalam Ibrani 11:1
Paulus memberikan sesuatu yang mungkin merupakan deskrispi terbaik dari iman di
seluruh Alkitab: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapakan dan
bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Iman adalah sebuah dasar – sesuatu yang nyata; kita dapat
merasakannya. Bila kita memilikinya, kita akan mengetahuinya. Namun, ini adalah
sebuah pemberian dari Allah (Ef.2:8). Kita bisa saja berharap dan berdoa
meminta sesuatu dari Tuhan, tetapi bagaiman kita dapat merasa yakin bahwa kita
akan menerimanya? Kita dapat memiliki jaminan bahwa kita akan menerima hal-hal
yang kita minta itu jika kita memiliki iman Allah, karena iman adalah bukti
dari hal-hal yang tidak terlihat dan dasar dari hal-hal yang kita harapkan.
2. Rasionalitas
Secara etimologi, rasionalitas berasal
dari bahasa Yunani kuno, yakni rasio,
yang memiliki arti kemampuan kognitif untuk dapat memilah antara yang benar
serta juga salah dari yang ada dan dalam kenyataan. Rasionalitas merupakan pola
piker dimana seseorang itu bersikap serta juga bertindak sesuai denga logika
dan juga nalar manusia. Rasionalitas merupakan suatu konsep yang memiliki sifat
normatif yang mengarah kepada keselarasan antara keyakinan seseorang dengan
alasan orang tersebut untuk dapat yakin, atau juga tindakan seseorang dengan
alasannya untuk melakukan hal atau tindakan tersebut. Para filsuf Yunani kuno
sudah lama menjelaskan bahwa bertindak rasional berarti bertindak berdasarkan
pertimbangan yang masuk akal, baik mengenai sarana maupun mengenai tujuannya.
Rasionalitas yang dimaksud ini adalah rasionalitas evaluatif, suatu
rasionalitas yang menjelaskan bahwa suatu tindakan selalu berkaitan dengan
nilai atau kepentingan bersama, atau lebih tepatnya lagi kepentingan manusia
pada umumnya. Konsep rasionalitas Yunani kuno ini akan tetapi telah lama
diabaikan. Sejak David Hume, terutama dalam bukunya Treatise of Human Nature (1739-40), rasionalitas evaluative ini
diganti dengan rasionalitas instrumental, dimana pengetahuan manusia tidak
dapat lagi dilihat sebagai ungkapan dari keunggulan manusia sebagai makhluk
yang berakal budi dan berakhlak mulia, melainkan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan tertentu
Menurut KBBI, kata rasional merupakan suatu
pemikiran dan pertimbangan dengan secara logis dengan pikiran yang sehat dan
masuk akal. Max Weber, yang merupakan salah satu pencetus teori rasionalitas,
melakukan analisis gejala modernitas yang terjadi di masyarakat Barat kali itu.
Max Weber juga mengatakan bahwa terdapat dua jenis rasionalitas manusia, diantaranya:
·
Rasionalitas Tujuan (Zwekrationalitaet), yaitu rasionalitas
yang mengakibatkan tiap individu atau juga sekumpulan orang dalam satu tindakan
dengan orientasi pada tujuan tindakan, cara mewujudkannya, dan juga
akibat-akibatnya. Keunikan rasionalitas yang satu ini ialah sifatnya yang
formal, disebabkan karena mengutamakan tujuan dengan tidak memperdulikan
pertimbangan nilai
·
Rasionalitas nilai (Wetrationalitaet), yaitu rasionalitas
yang memperhitungkan nilai-nilai atau juga segala macam etika yang
memperbolehkan atau juga menyalahkan pemakaian lngkah tertentu dalam mewujudkan
tujuan. Rasionalitas nilai ini lebih mengutamakan kesadaran atas nilai-nilai
estetka, etis dan juga religius.
Sedangkan menurut
Stanovich dan West (2014) rasionalitas mengandung dua pengertian, yaitu sebagai
sebuah tindakan yang tepat dilihat dari hasil yang diharapakan sebagaimana
diukur dari sudut pandang pencapaian tujuan, serta sebagai sebuah keyakinan
yang dipegang individu, dimana keyakinan tersebut didukung oleh bukti-bukti
terbaik yang tersedia. Secara lebih terinci
Hastie dan Dawes (2010) mengemukakan bahwa sebuah tindakan dapat disebut
rasional bila memenuhi empat kriteria. Pertama, tindakan itu dilandasi oleh
pertimbangan yang menyeluruh terhadap seluruh alternatif tindakan lain yang
tersedia. Dengan kata lain pelaku tindakan telah mempertimbangkan seluruh
kemungkinan yang tersedia. Kedua, pemilihan alternatif tindakan tersebut
diambil berdasarkan pertimbangan terhadap konsekuensi atau hasil yang mungkin
menyertai setiap alternatif tindakan. Alternatif tindakan yang dipilih adalah
yang memberikan hasil yang terbaik atau tertinggi bagi pelaku. Ketiga, ketika
hasil atau konsekuensi tersebut masih berupa kemungkinan atau tidak dapat
dipastikan benar atau tidaknya, maka nilai dari hasil atau konsekuensi tindakan
diperkirakan dengan cara menggunakan aturan-aturan sebagaimana digariskan dalam
teori probabilitas. Terakhir, keseluruhan proses pengambilan keputusan rasional
ini mencerminkan pertimbangan yang menyeluruh terhadap unsur ketidakpastian dan
ketidakjelasan terkait hasil dari sebuah tindakan, dalam kaitan dengan
tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui tindakan tersebut.
Contoh-contoh tindakan rasional:
1)
Manusia itu harus bekerja keras apabila ingin mendapatkan
uang
2)
Seorang penjahat itu akan ditangkap dan juga akan diadili
karena melakukan tindakan yang melanggar
hukum
3)
Direktur memberikan bonus kepada pegawai yang menunjukkn
prestasi didalam menyelesaikan pekerjaannya.
4)
Seseorang akan lebih memilih baju yang rapih daripada baju
yang lecek.
5)
Seseorang akan makan untuk melawan laparnya
B. Hubungan antara Iman dan Rasionalitas
Seringkali
kita melihat bahwa antara iman dan rasionalitas memiliki pertentangan. Iman merupakan
elemen penting dari sebuah agama mana pun karena iman merupakan fondasi utama
dari keyakinan agama. Iman juga membedakan keyakinan antara agama satu dengan
agama yang lain. Pertanyaan mendasar muncul, perlukah iman dirasionalkan?
Banyak jawaban mengatakan tidak perlu. Memaksakan iman untuk rasional justru
merupakan wujud kegagalan atau wujud kebangkrutan keyakinan. Keyakinan
seseorang itu tidak dibatasi oleh sekat-sekat dunia dan keyakinan seseorang
tidak dapat dijelaskan dengan metode ilmiah mana pun. Iman merupakan hal
transcendental. Sebagai sesuatu hal yang berada di ranah transcendental, setiap
upaya merasionalkan keimanan justru memaksakan transcendental tersebut seirama
dengan dunia nyata. Atau dengan kata lain, memaksakan suatu penemuan sains
dengan fenomena keimanan. Sains tidak mampu mengilmiahkan keyakinan atau
keimanan.
Pada
masa awal kekeristenan, filsafat dan
teologi tidak dapat berdiri berdampingan. Filsafat dengan aktifitasnya sendiri
dan teologipun demikian. Antara filsafat dan teologi terbentang jarak yang
begitu jauh. Jarak ini kemudian juga mempengaruhi gaya hidup dan pola pikir
masyarakat saat itu. Melihat keadaan ini, para pemikir Kristen seperti
Santo Yustinus, Santo Anselmus, Santo Thomas Aquinas dan lain-lain berusaha untuk
mencari dan menemukan suatu cara atau jalan untuk memperdamaikan keduanya,
meletakan secara berdampingan iman dan akal budi.
Dalam konteks iman, tugas filsafat kemudian dipahami sebagai pembela iman.
Dimana kemampuan akal budi digunakan secara benar dan tepat untuk menjelaskan
dan memahami wahyu. Thomas Aquinas kemudian menemukan suatu keselarasan
antara iman dan akal budi. Ia menegaskan bahwa terang akal budi dan terang iman
merupakan dua hal yang berasal dari Allah, maka tidak ada pertentangan diantara
keduanya. Selain Aquinas, beberapa pemikir sesudah Aquinas berusaha untuk
menjelaskan hal yang sama dengan cara pandang yang baru, dengan metode yang
sesuai dengan jaman.
Proses
pencarian hubungan antara iman dan rasio sudah dimulai sejak zaman Yunani kuno.
Selain pada filsuf pertama, dari kalangan kekristenan awal pencarian ini pun
sudah dimulai. Sebagaimana yang kita lihat dalah Kisah Para Rasul, pewartaan
iman Kristen sejak permulaan bergelut dengan aliran-aliran filsafat yang
hidup pada jaman tersebut. Kisah para rasul memperlihatkan bagaimana St.
Paulus berbincang-bincang dengan beberapa ahli pikir dari kalangan
epikuros dan Stoa. Dalam menjelaskan pewartaannya, St Paulus sendiri
perlu masuk dalam pola pikir kaum stoa tersebut dimana ia memulai dengan
pandangan filosofis mengenai dewa yang tak memiliki nama yang disembah oleh
bangsa romawi dalam pidatonya di Areopagus (Bdk. Kis 17:22).
Dalam
Ensiklik Fides Et Ratio, Paus Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa salah satu
hal penting yang menjadi kepedulian filsafat klasik adalah memurniakn
pengertian-pengertian manusia mengenai Allah dari unsur-unsur mitologis.
Penjelasan Paus ini hendak menunjukan bahwa Santo Paulus sudah memulai proses
tersebut dimana ia berusaha menjernihkan pemikiran para hadirin yang ada
mengenai pemahaman mereka akan nabi yang tak mereka kenal dengan nilai-nilai
pewartaan yang bersifat Kristiani. Tidak berhenti pada santo Paulus, para
pemikir Kristen awal juga terus berusaha untuk menjelaskan hal yang sama. Seperti
contoh santo Yustinus sesudah pertobatannya ia tetap menjunjung tinggi filsafat
dan ia menegaskan bahwa ia telah menemukan dalam agama Kristen satu-satunya
filsafat yang pasti dan bermanfaat. Klemens dari Aleksandria menyebut
injil sebagai Filsafat yang benar, Klemens menegaskan bahwa tugas filsafat
adalah membela iman, Origenes dalam menghadapi serangan Celcius, ia
mempergunakan argument filsafat Plato. Jika kita mencermati secara mendalam dan
mendetail, kita akan menemukan begitu banyak para pemikir Kristen yang tetap
menggunakan filsafat dalam menerangkan iman Kristiani. Hal ini hendak
menunjukan kesadaran kritis para ahli pikir Kristen sejak awal mula dalam
menghadapi masalah iman dan filsafat, sambil memandang hubungan itu secara
menyeluruh baik segi-segi positifnya dan keterbatasan-keterbatasannya.
Rasio
dan iman dapat berjalan sejajar. Tetapi jika mereka harus saling mengisi,
manakah yang harus lebih dipentingkan? Paulus dengan tegas memakai satu kalimat
untuk mendalami prinsip kesinambungan Perjanjian Lama sampai kepada Perjanjian
Baru, yaitu: “Orang benar akan hidup oleh iman” (Roma 1:17; bandingkan Habakuk
2:4). Dengan kalimat ini, jelas bahwa iman menempati posisi yang utama; iman
merupakan unsur primer, lebih penting dari segala sesuatu. Tetapi iman itu
harus dapat dipertanggungjawabkan dengan rasio, dan dapat dimengerti dengan
sesungguhnya. Iman harus mendahului dan menjadi fondasi dari rasio kita. Iman
yang menyebabkan kita dapat berdiri di hadapan Tuhan. Tetapi orang yang berdiri
di hadapan Tuhan harus juga berdiri di hadapan manusia. Pada waktu seseorang
beriman kepada Tuhan, ia harus memberikan alasan di hadapan manusia mengapa ia
beriman kepada Tuhan. Dengan iman kita berdiri di hadapan Tuhan, dan dengan
pengetahuan kita mengerti mengapa kita berdiri di hadapan Tuhan. Dengan
pengetahuan yang sejati itulah kita dapat membagi-bagikan iman yang murni
kepada orang-orang sezaman kita. Rasio tidak boleh dibunuh oleh iman, karena
rasio diciptakan oleh Tuhan sebagai satu bagian yang penting di dalam urutan
fungsi di dalam dunia ini[3].
C.Peran Iman dan
Rasionalitas di masa Covid 19
Virus
Corona merubah segalanya. Di tengah kecemasan dan duka mendalam atas peristiwa
ini, saya terdorong untuk menuliskan betapa pentingnya kesadaran kita akan
bahaya virus yang mengancam kesehatan, menantang iman dan cara beragama serta
bernalar kita. Tulisan ini tidak bermaksud memaksakan korelasi logis antara
iman dan rasio. Tetapi tulisan sebagai upaya reflektif bagi penataan kehidupan
beriman di tengah situasi pandemic dengan pertimbangan akal sehat guna
mengantisipasi bahaya yang mengintai kehidupan kita.
Hampir di seluruh dunia mengalami krisis
akibat virus ini. Virus ini menyerang siapa saja. Bahkan hingga Kamis sore, 11
Juni 2020, dilansir dari data terbaru CSSE Johns Hopkins University, total
jumlah kasus Corona di dunia sudah mencapai 7.394.801 pasien. Angka ini
merupakan update data hingga pukul 17.30 WIB. Jumlah pasien positif corona yang
meninggal pun terus bertambah, dan pada sore hari ini, menjadi 417.022 jiwa.
Tiga negara yang memiliki angka kematian pasien Covid-19 tertinggi saat ini
adalah Amerika Serikat, Inggris dan Brasil. Jumlah kasus positif corona di
Indonesia masih terus bertambah. Laporan Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19 pada Kamis sore, 11 Juni 2020, menunjukkan ada
979 kasus baru yang terkonfirmasi positif corona, dalam 24 jam
terakhir. Dengan penambahan tersebut, total jumlah kasus positif corona di
Indonesia pada hari ini menjadi 35.295 orang. Dari jumlah total tersebut, 58,5
persen atau 20.659 pasien berstatus masih dirawat (kasus aktif). Di sisi
lain, angka kematian pasien corona di Indonesia saat ini telah mencapai 2000
pasien. Dalam sehari terakhir, Gugus Tugas menerima laporan 41 kasus kematian
baru.[4]
Tidak hanya itu, virus corona juga
melumpuhkan perekonomian negara-negara yang terdampak, terganggunya
pemerintahan, pendidikan, kehidupan sosial bahkan sampai pada kehidupan umat
beragama. Masyarakat dihimbau untuk di rumah saja dan dilarang untuk berkumpul
atau mengadakan kegiatan yang melibatkan banyak orang. Contohnya sekolah kini
sudah dilakukan di rumah masing-masing pelajar, begitu pun dengan kegiatan yang
lainnnya, semuanya dilakukan dari rumah. Hal ini tentunya sangat berpengaruh
bagi kehidupan setiap orang, ada yang pro dan ada juga yang kontra, tetapi
sebenarnya hal tersebut harus diterima demi kebaikan bersama. Di antara yang
paling gencar merespon penyebaran kasus Covid 19 ini ialah kaum agamawan, yang
kini di garda terdepan menafsirkan fenomena ini secara teologis. Namun yang
membuat umat terguncang ialah ketika ada praktik keagamaan yang mulai dilarang
pemerintah. Kebijakan-kebijakan ini melahirkan benturan teologis karena umat dilarang
(sementara) berkumpul pada momen ritual, seperti ibadah di gereja atau sholat
berjamaah dan lainnya. Situasi ini begitu menggoyahkan iman umat beragama. Orang-orang
berpikir bahwa mereka dibuat lebih takut virus Corona daripada takut Tuhan. Contohnya
mereka berpikir bahwa pendeta lebih takut corona dari pada takut Tuhan karena
meniadakan ibadah di gereja. Ada juga orang-orang yang berkeyakinan bahwa tidak
akan terkena virus corona walaupun tidak mengikuti anjuran pemerintah dalam hal
ini protocol kesehatan yang dikeluarkan. Mereka tetap melakukan peribadahan,
baik di gedung gereja, maupun di tempat-tempat ibadah lainnya. Semuanya itu
merupakan kekeliruan. Ada sebuah postingan di salah satu media sosial yang
mengatakan; “Buat apa takut corona, hidup dan mati ada di tangan Allah. Allah
pasti tidak akan mengirimkan virus untuk umat-Nya. Mengapa kita dilarang pergi
ke tempat-tempat ibadah? Allah tidak akan mengirim virus ke tempat ibadah”. Itu
adalah beriman yang tidak rasional. Memang betul bahwa kita harus beriman dan
yakin kepada pertolongan Tuhan. Akan tetapi tidak dengan melakukan hal-hal yang
tidak seharusnya. Disinilah diperlukan akal budi (rasio). Kita harus melakukan hal-hal yang sesuai dengan kondisi yang
terjadi, apakah itu berdampak baik bagi kita dan orang lain atau malah
sebaliknya.
Fakta lapangan dan laporan statistik menunjukkan bahwa
pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam memutus pesebaran virus
melalui penetapan libur, pemerikasaan kesehatan dan Physical Distancing yakni
menjaga jarak dan menghindari keramaian mengingat laju pesebaran covid-19 yang
cukup cepat dan signifikan. Bentuk-bentuk penanganan dan upaya pencegahan ini
urgen untuk diperhatikan dan dilaksanakan. Kembali pada isi postingan tadi,
saya ingin mengatakan bahwa kesadaran kita untuk bekerjasama dalam memutus laju
pesebaran virus adalah hal yang sangat diperlukan saat ini. Pelarangan ke
tempat ibadah sebagai salah satu sentrum keramaian tidak berarti bahwa
pemerintah berusaha untuk membatasi prinsip-prinsip iman dan tata ritual agama
kita dalam arti tegas dan esensil. Hal yang sama berlaku juga ketika pemerintah
menetapkan social distancing. Penjarakan dalam interaksi sosial (Physical
Distancing) tidak dimaksudkan oleh pemerintah untuk membatasi relasi sosial
kita dalam arti tegas. Penetapan-penetapan ini tak lain adalah upaya untuk
mencegah peningkatan jumlah korban. Kita terperosok jauh dalam “kebutaan”
beragama dengan membangun persepsi bahwa cukup dengan iman dan pelaksaan ritual
keagamaan, keselamatan dan kesehatan telah menjadi milik paripurna yang tidak
dapat diganggu gugat oleh siapa pun dan apa pun termasuk Covid-19. Pola pikir
seperti ini perlu segera dibenahi.
Beriman memang penting tetapi di sisi lain menggunakan
akal sehat dalam menimbang dan memutuskan apa yang terbaik bagi diri dan
kesehatan juga penting. Keduanya harus sejalan. Thomas Aquinas, salah satu
filsuf sekaligus teolog mengemukakan betapa pentingnya peranan akal budi dan
iman. Keduanya berasal dari Tuhan. Korelasi keduanya membantu manusia untuk
mencapai pengertian tertinggi akan manusia di satu pihak dan Allah di lain pihak.
Iman di satu pihak menyempurnakan pemahaman manusia yang tak dapat dijangkau
akal budi tetapi di pihak lain juga akal budi membantu manusia dalam memahami
iman juga dalam tataran praktis pelaksanaannya.
Wabah Covid-19 menjadi tantangan bagi iman dan
nalar kita. Di satu pihak kita mengandalkan iman dan prinsip-prinsip keagamaan
sebagai upaya membangkitkan kesadaran sebagai manusia yang terbatas dan
membutuhkan Tuhan seperti berdoa tetapi serentak di pihak lain, kita ditantang
untuk secara rasional memberdayakan akal budi dalam membangun pola pikir yang
aktif dan pro-aktif guna menjamin kesehatan dan keselamatan kita yang sedang
terancam seperti menghindari keramaian dan sebagainya. Beriman tanpa berakal
adalah sesat dan berakal tanpa beriman adalah buta.
BAB
V
PENTUTUP
Di tengah pandemik Covid 19 ini, tentunya iman
sangat dibutuhkan. Setiap orang berkeyakinan ada pertolongan Tuhan. Namun akal
budi (rasio) juga diperlukan. Kita tidak hanya saja percaya bahwa ada
pertolongan Tuhan, tetapi harus mengerti dan melakukan apa yang dikehendaki
Tuhan. Di masa sekarang ini kita harus menggunakan akal sehat dalam menimbang
dan memutuskan apa yang terbaik bagi diri dan kesehatan juga penting. Iman itu
penting. Kita jangan hanya percaya tapi harus juga mengerti. Kita dapat
mengerti karena kita beriman, bukan karena kita mengerti maka kita beriman!
Kita dapat mengerti karena kita memiliki iman. Kita percaya ada pertolongan
Tuhan di balik virus Corona ini, ada rencana-Nya yang indah untuk kita, untuk
itu kita harus mengerti, menggunakan akal budi (rasio) dengan melakukan hal-hal
yang tidak merugikan kita. Dengan mentaati apa yang dihimbau oleh pemerintah
saja kita sudah melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan (pemerintah adalah
wakil Tuhan). Jadi tetaplah beriman dan percaya akan pertolongan Tuhan dengan
berjalan bersama pemikiran yang rasional dan tindakan yang masuk akal. Rancangan
Tuhan adalah rancangan damai sejahtera, bukan rancangan kecelakaan, Ia
memberikan hari depan yang penuh harapan (bdk Yer.29:11)
DAFTAR PUSTAKA
A.Kitab Suci dan Kamus:
1. Alkitab, Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia, 2016
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia
B.Buku:
1.
Hadiwijono,
Harun, Iman Kristen (Jakarta, BPK
Gunung Mulia, 2015)
2.
Tong,
Stephen, Iman,Rasio dan Kebenaran (Surabaya,
Momentum, 2015)
3.
Tjahjadi,
Simon Petrus L, tuhan filsuf dan ilmuwan
(Dari Descrates Sampai Whitehead) (Yogayakarta, Kanisius, 2007)
4.
Suseno-Franz
magnis, menalar tuhan (Yogyakarta,
Kanisius, 2006)
5.
Veldhuis,Henri,
Kutahu yang Kupercaya (Jakarta, BPK
Gunung Mulia, 2010)
6.
Stanovich,K.E,
West,R.F (2014) The assessment of rational thinking: Teaching of Psychology
7.
Hastie,R
& Dawes, R.M (2010) Rational choice
in an uncertain world : The Psychology of judgment and decision making. Thousand
Oaks, CA:Sagc
8.
Paus
Yohanes II, Fides Et Ratio, terj.A.
Widyamartaya (Yogyakarta, Kanisius, 1999)
C.Jurnal dan Internet
1. jurnal.ugm.ac.id
C:/Users/LENOVO/Downloads/26771-56184-4-PB%20(3).pdf
2. https://alkitab.sabda.org/article,php?no=423&type=12
3. https://pendidikan.co.id/pengertian-rasional-sikap-tipe-dan-contohnya-menurut-para-ahli/
4. https://tirto.id/update-corona-11-juni-2020-indonesia-dunia-data-terbaru-hari-ini-fGNK
[1] Harun Hadiwijono, Iman
Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2015), 24
[2] Simon Petrus L.Tjahjadi, Pustaka
Filsafat Petualangan Intelektua : Konfrontasi dengan para Filsuf dari zaman Yunani hingga zaman Modern, (Yogyakarta
: Kanisius, 2008), 123
[3] Stephen Tong, Iman,Rasio, dan
Kebenaran (Surabaya : Momentum, 2015), 16-17
[4] https://tirto.id/update-corona-11-juni-2020-indonesia-dunia-data-terbaru-hari-ini-fGNK,
(diakses pada tanggal 11 Juni 2020, pukul 21.23 WITA)
Komentar
Posting Komentar