PECUNDANG YANG KHILAF

Tulisan ini hadir untuk menginterupsi perjalanan panjang yang salah arah. Ya, saya adalah pecundang kampus yang terlambat sadar. Pecundang karena di penghujung masa kuliah barulah sadar dengan kemampuan saat ini. Sangatlah malu ketika mengukur kemampuan intelektual diri sendiri. Sampai dengan detik ini, tidak ada karya yang dihasilkan sebagai seorang akademisi, apa pun itu. Tidaklah pantas disebut kaum akademisi, bahkan ketika tertaut gelar di belakang nama nantinya. Sangat memalukan untuk mahasiswa semester akhir. Cacian di atas merupakan refleksi beberapa hari di desa Duma. Ya, Duma merupakan tempat melaksanakan praktik dari kampus yang secara teknis saya ditempatkan di suatu jemaat sinode/denominasi gereja tertentu. Menginjakkan kaki di tempat ini, saya dibuat kagum dengan berbagai hal. Desa ini bagai taman Eden yang Tuhan ciptakan di pulau Halmahera. Mungkin agak berlebihan bagi kalian yang membaca ini, tapi tidaklah cukup bagi para pendatang yang tinggal di desa ini. Yang membuat saya kagum adalah seribu satu kisah mengenai alam, sejarah, budaya, politik hingga dinamika kehidupan beragama lengkap di tempat ini. Bukti konkret ialah tempat saya merangkai kata dalam tulisan ini berada di ujung desa samping sebuah danau yang dipenuhi dengan cerita sejarah dan mistik yang terkenal. Sambil merenung dan mencari inspirasi, saya duduk di sebuah kursi dan meja batu di bawah pohon Tanjung Duma. Sebelumnya, pengakuan, bahkan pertobatan saya alami dalam perenungan diri di kamar tempat saya tinggal dan membersamai masyarakat di Duma. Ya, semoga benar bertobat. Kekaguman, atau mungkin rasa iri saya alami ketika berbicara dengan sekumpulan pemuda di desa ini yang pengetahuannya bagai kritikus dan orator di media sosial yang saya ikuti. Kemampuan merangkai kata dalam logat daerah namun memuat berbagai teori yang justru mendarat di kaum awam menjadikan saya merasa seperti anak kecil di antara kerumunan rang tua. Sungguh, semester delapan tidaklah banyak yang saya ketahui dan miliki dibanding para penggerak desa ini. Mereka tidak hanya sampai pada tahap wacana bersama teori, namun diterjemahkan dalam tindakan sosial membenahi dan membangun masa depan mereka di Duma. Seketika saya merasa khilaf. Keangkuhan dengan semua yang dimiliki saat ini, baik pengetahuan dan jabatan, hanyalah instrumen seorang pecundang kampus. Sebab semuanya ternyata masihlah kecil jika dibanding dengan dunia luar. Dengan tulisan, kiranya menjadi titik balik untuk mengubah diri agar lebih baik lagi. Saya ingin menjadi pintar, hebat dalam beradu argumen, pandai dalam menulis, jeli dalam menganalisis dan terutama menjadi alat Tuhan untuk pekerjaan-Nya. Tidak mengapa saya sebutkan semuanya, inilah cita-cita seorang mahasiswa akhir. Saya meyakini pepatah “tidak ada kata terlambat bagi mereka yang mau belajar”. Kalimat itu merupakan roh yang menggerakkan saya berintropeksi diri. Patung dan semangat Hendrik Van Dijken di tempat ini, cerita mistik Moro, Tanjung Duma dan semua tumbuhan bersama hewan dengan nyanyian mereka di samping danau Galela ini kiranya menjadi saksi pertobatan saya menjadi “penulis” cerita kebaikan Tuhan yang dipakai-Nya. Yang dari hati akan sampai ke hati, yang diniatkan baik akan mendatangkan kebaikan. Kiranya Tuhan terus membawa saya dari satu titik kagum ke titik kagum lainnya. Duma, Halmahera Utara, 2023

Komentar

Postingan Populer